Senin, 19 Desember 2011

Welcome to Indonesia


          Welcome to Indonesia. Itulah kata hati Joseph ketika pertama kalinya ia menginjakkan kaki di bandara. Untuk menghibur diri dari pertengkaran dengan ayahnya, ia memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Berlibur, namun lebih tepat untuk menenangkan diri, lagipula di Indonesia dia sudah memiliki seorang teman yang dia kenal dari dunia maya. Bisa dibilang sangat akrab malah. Kesempatan baik bukan bila dia ingin bertemu dengan temannya itu.
            Hari ini, dia akan menjemput Joe. Dia biilang dia akan mengenakan jaket ungu polosan dengan rambut sebahu yang tergerai. Sudah hampir sepuluh menit dia mencari, tapi tak ada ciri-ciri perempuan yang seperti itu.
              “Itu dia,” ucapnya lega ketika melihat seorang wanita yang berlutut di lantai seperti sedang... tunggu, sedang menangis? Ucapnya dalam hati. Joe pun bergegas menghampirinya, lalu dengan ramah dia menyapa sahabat lamanya.
            “Hai my dear,” ucapnya dengan senyum menggoda. Joe berniat untuk menggoda sahabatnya itu. Dia ingin tahu, apakah sahabatnya itu masih bisa menggodanya seperti ketika di dunia maya bila bertemu langsung dengannya dan melihat senyumannya yang kata banyak orang bisa dengan mudah memikat wanita. Benarkah? Kita buktikan kepada anak tomboi satu ini.
         Perempuan itu menoleh,”Kamu siapa?” ucapnya polos dengan suara yang serak sehabis menangis dalam bahasa Indonesia.
          “Hah?” sontak saja Joe memasang raut wajah kebingungan. Seolah mengerti apa yang dipikirakn lekaki itu, perempuan yang hingga detik itu mulai Joe ragukan bahwa dia adalah teman mayanya itu mengulanginya dalam bahasa Inggris.
              “Kamu siapa?” ucapnya tetap pelan dalam bahasa Inggris.
             “Hmmm, ini aku, Joseph. Ingat? Teman chatting kamu,” ucap Joe terpotong-potong.
           “Hah? Sepertinya kamu salah orang,” isakan tangisan yang tadi terdengar jelas kini berubah menjadi keheranan.
             “Joseph. Ingat? Ayolah, please, jangan kerjain aku,” dengan raut wajah memelas Joe mengatakan itu.
             “Tapi sungguh, aku tidak tahu siapa kamu.”
            “So? Kalau begitu kita kenalan sekarang. Kenalkan, aku Joseph, panggil saja Joe,” ucap Joe dengan memasang senyuman tadi, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
             “Sorry, aku tak bisa berkenalan dengan orang asing,”
        “Hei, tapi kamu temanku, lalu siapa yang akan menemani aku? Kamu sudah janji, selama aku di Indonesia, kamu yang akan bantu aku lho,” Protes Joe yang juga bingung.
             Tiba-tiba, ada tangan yang menyentuh pundaknya. Lalu menyapanya dengan riang, “Ini Joseph kan?” Suara itu sontak membuat Joe menoleh, dan melihat seorang wanita yang berambut sebahu dan lebih panjang sedikit daripada perempuan yang sebelumnya. Dan.. mereka mengenakan jaket yang sama.
              “Emm, ini Diana?” ucapnya bingung.
            Perempuan yang baru datang itu menjawab dengan santai seolah belum mengerti kebingungan di wajah mereka berdua.
             “Aurel? Kamu kenapa ada disini?”
             “Di, kamu...” ucap perempuan berjaket ungu yang pertama.
          Hmmm, sepertinya telah terjadi sesuatu. Benar?” ucap Diana seolah bisa membaca raut wajah mereka.
             “Jadi? Dia teman kamu?” balas Aurel yang mulai mengerti.
           “Hehehe, iya Rel. Dia teman chatku, sepertinya dia mengenali kamu sebagai aku, karena aku bilang ke dia kalau aku mengenakan jaket warna ungu, kebetulan banget kamu pake jaket warna ungu juga. Oh iya, ngapain kesini?” terang Diana panjang lebar, yang diakhiri dengan pertanyaan. Alasan yang paling tidak ingin diutarakan Aurel pada Diana saat ini adalah mengapa dia berada disini. Muka kesalnya karena bertemu Joe yang asing buatnya, tiba-tiba berubah jadi kesedihan lagi. Kesedihan yang membuatnya ada disini.
            Aurel menghela nafas sebentar, lalu, “Huhm, gak apa apa kok. Jadi dia temen kamu kan. Mending sekarang kalian pergi deh, pasti ada banyak hal yang mau kalian lakuin.”
             “Tahu aja kamu, Rel. Eh, tapi baiknya kalian kenalan dulu deh.”
            “Aku Aurel,” ujar Aurel sambil mengulurkan tangannya, dengan sedikit senyuman. Senyum yang untuk sedetik membuat Joe terpaku. Senyum itu tak tulus, tapi.. tapi dia begitu cantik dengan senyum itu, pasti akan lebih cantik bila dia tertawa lepas.
           Dan detik berikutnya dia tersadar dari awangannya, “Joseph,” balas Joe sambil menjabat tangan Aurel dan tersenyum bersahabat.
          “Tadi diajak kenalan gak mau, sekarang mengapa mau?” ucap Joe seolah tersadar, bahwa dari tadi dia tidak mengerti apa yang dibicarakan kedua perempuan berjaket ungu itu. Dia hanya mengerti saat Aurel mengucapkan namanya, dan mengulurkan tangan yang menandakan perkenalan. Sontak saja dia menjawab.
          Tak berapa lama setelah itu, Joe dan Diana pergi meninggalkan Aurel sendirian di sebuah kafe. Mereka harus mencari hotel untuk tempat menginap Joe malam ini, dan Aurel yang sedang bermood jelek tak ingin menghancurkan acara mereka sekali lagi, seperti yang dilakukannnya selama di kafe. Apalagi, Joe selalu mencuri pandang padanya, itu membuat Aurel merasa sangat risih. Yang dia butuhkan adalah kesendirian. Sendiri, seperti yang dirasakannya sekarang.
       Sadar bahwa sekarang dia hanya sendirian, ia segera memesan secangkir kopi hangat untuk menyegarkan kepalanya, dan merenungui apa yang terjadi padanya hari ini.
         Pagi tadi, dia berkunjung ke apertement Kevin, untuk mengajaknya jalan-jalan sekaligus makan siang. Tapi yang dia temukan hanyalah sebuah ruangan kosong tanpa penghuni. Segera dia menelpon orang yang dia cari itu, betapa terkejutnya ketika dia tahu bahwa orang yang ditelponnya itu dengan mudahnya mengatakan bahwa sebentar lagi dia akan pergi ke Singapore untuk menjemput Ria, dan satu jam lagi pesawatnya akan berangkat. Dia juga berterima kasih karena Aurel lah yang menyadarkan dia bahwa dia juga tak oleh menyerah dan putus asa begitu saja, tapi berusaha. Dan dia berkeras untuk berusaha mendapatkan Ria sekali lagi.
        Entah harus bagaimana dia sekarang. Dia haya bisa menangis sendiri. Ya, hatinya selalu menangis melihat orang yang dicintainya tak pernah melihat cinta yang begitu tulus di depan mata. Sudah 4 tahun, dan tetap sama.
         Menyedihkan! Mengapa kamu bisa selemah ini?! Rutuknya dalam hati.
        Bodoh! Bodoh! Bodoh! Dan lebih bodoh lagi karena aku menyusulnya ke bandara seolah berharap dia akan mengurungkan niatnya bila aku yang meminta! Bodoh! Ungkapnya dalam hati. Dia berharap dengan merutuki dirinya sendiri seperti itu, maka kemarahannya akan bisa mengalahkan kesedihannya saat ini.
     Salah besar! Aurel tetap saja tidak bisa menyingkirkan sebersitpun kekecewaannya. Adik, dia hanya akan menjadi adik untuk Kevin, tak bisa lebih. Kenyataan yang begitu pahit untuk dia cerna. Untuk dia terima.
     “Ahh! Sudahlah! Tanpa dia aku tetap bisa hidup!” kata sok tegas yang akhirnya dia ucapkan. Lalu dia mengambil secagkir kopinya dan mulai menyesapnya. Sesapan pertama, sesapan kedua, tidak ada yang dia rasakan, ternyata kopi itu sudah sedari tadi habis. Dia melirik jam kecil di tangannya, sudah jam 10 malam rupanya. Lalu dia termenung. Jam mungil yang sudah tua dan lusuh itu, jam pemberian Kevin di hari ulang tahunnya. Itu adalah jam peninggalan ibunya, lalu jam seberarti itu diberikannya dengan mudah pada Aurel.
      Dengan mudah? Benarkah? Seharusnya tidak, karena jam itu pastinya memiliki makna untuk Kevin, lalu mengapa diberikan pada Aurel? Apakah dia begitu berarti untuk Kevin? Mengapa? Bukankah dia hanya akan selalu menjadi adik untuk Kevin? Lalu, bagaimana bisa?
     Argggggh. Sudahlah, apapun aku dimata dia, itu tak ada artinya. Bodoh, Aurel bodoh! Lupakan ini! Masalah konyol! Ayo, segera pulang! Tegasnya dalam hati.
*****

The Day


         “Kevin, tolong jangan seperti ini. Kamu sudah tiga hari bolos kuliah, dan sedikitpun tak memberi kabar ke kita, smsku kamu acuhkan, telepon gak diangkat. Sampai kapan kamu akan tetap seperti ini? Benar-benar childist. Sedikitpun kamu gak memikirkan hal yang jauh lebih penting di hidup kamu selain wanita,” ucap Aurel pada Kevin, sahabatnya. Pagi ini Aurel datang ke apartement Kevin. Keadaan ruangannya benar-benar kacau, termasuk orangnya. Ketika Aurel datang, Kevin sedang tidur-tiduran di sofa.
        “Vin, sebentar lagi ujian dimulai, dan kamu tetap tak bersemangat karena putus cinta? Sedangkan orang yang kamu harapkan, Ria, sudah pergi jauh dari kamu. Dia sudah memilih untuk meninggalkan kamu. Dia tak lagi peduli ke kamu. Kalaupun dia lihat seperti apa kamu sekarang ini, dia bersyukur karena telah memilih untuk memutuskan hubungan kalian. Childist!” ucap Aurel ketus yang kesal melihat sahabatnya seperti ini hanya karena putus cinta.
       “Rel, jaga mulut kamu! Aku sudah kacau seperti ini, dan kamu datang kesini hanya untuk menghina-hina aku seperti ini? Seperti itu ya gunanya sahabat?” bantah Kevin tegas yang terbawa emosi mendengar nada tinggi ucapan Aurel.
       Plak. Satu tamparan mendarat di pipi Kevin. “Sadar kamu Vin! Aku memang hanya sahabat kamu, tapi kita sudah bersahabat 4 tahun. Ria, hanya sebulan jadian sama kamu dan dia meninggalkan kamu. Terserah kalau kamu akan memilih wanita yang sudah meninggalkan kamu itu. Terserah. Tapi aku kesini bukan untuk pemilihan umum seperti ini,” lalu Aurel tiba-tiba memegang tangan Kevin yang sedang berdiri di depannya, “Kamu bilang aku sudah seperti adik kamu sendiri, jadi, tolong. Dengerin adek kamu yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Abangnya ini. Kamu boleh patah hati, tapi jangan hancurkan hidup kamu. Dia pergi, berarti dia bukan Joedoh kamu. Entah suka atau enggak, kamu pasti akan dapatkan wanita yang lebih baik, yang setia dan sayang sama kamu,”
     Lalu Aurel meletakkan tangan Kevin ke dada Kevin, dia ingin Kevin bisa merasakan ketulusan Aurel, kasih sayang Aurel. Dia ingin Kevin berhenti mengasihani diri sendiri, “Sakitnya, sesaknya mungkin sedang memenuhi dada kamu sekarang. Tapi, Seperih apapun, pasti akan ada obatnya. Kamu harus terima kenyataan,” ucap Aurel menenangkan, sambil memberikan seulas senyum.
     Entah apa yang harus dilakukan Kevin, dia merasa dirinya sangat beruntung memiliki sahabat dan adik seperti Aurel. Dia juga beruntung karena mengenal Aurel yang penyayang dan lembut, tapi selalu saja dia melakukan kesalahan, dan selalu saja dia menyakiti perasaan sahabatnya itu dengan ucapannya.
      Selalu begitu, Aurel lah yang selalu menghangatkan hatinya ketika ada masalah. Padahal Kevin jauh lebih tua daripada dia. Aurel selalu mengerti bagaimana membuatnya menggunakan akal sehat lagi. Kevin berusaha membalas senyum manis sahabatnya itu, hanya itu yang bisa dilakukannya.
      “Thanks ya Rel. Thanks juga sudah mau punya abang kekanak-kanakan kayak aku,” hanya itu yang bisa dikatakan Kevin pada sahabatnya yang sangat pengertian ini. Banyak hal yang Kevin suka dari Aurel, dan salah satunya adalah, Aurel yang suka sekali tersenyum, entah dalam keadaan apapun. Itu terbukti dengan melihat Aurel yang sekali lagi tersenyum mendengar perkataan Kevin.
      “Hahaha, kamu tak pernah bilang maaf ke aku. Apa hanya bisa bilang terima kasih? Ayo, mandi gih. Setelah ini Diana datang, lalu kita jalan-jalan deh,” sahut Aurel dengan riang.

The Night

       Malam bersalju yang sangat dingin di London. Bintang tak menampakkan diri sedikitpun, membuat malam seolah menyapa dingin pada para makhluk yang ada di bumi. Tak banyak orang yang berkeliaran di malam dingin seperti itu, tapi club malam yang berada di pusat kota itu selalu penuh dengan kerumunan orang. Banyak dari mereka yang datang untuk sekedar mengisi waktu luang, atau menghilangkan penat di kepala.
      Seperti yang dilakukan Joseph Lorviz saat ini. Ia mengeratkan jaket hangatnya ke tubuhnya untuk mengurangi rasa dingin dari  malam yang tak bersahabat ini. Perlahan dia menyesap kopinya untuk memberi kehangatan di dalam tubuhnya. Kerongkongannya benar-benar kering, bukan karena kehausan, tapi karena marah. Begitu marah hingga kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. Persoalannya seperti biasa, bertengkar dengan ayahnya yang menurutnya egois itu. Tapi kali ini topik yang diperdebatkan membuat Joseph sangat marah. Bahkan rasanya kopi yang telah diminumnya itu terasa sangat dingin di tenggorokannya.
        “Shit!!” teriaknya sambil membanting cangkir kopi itu ke lantai. Pecah. Seperti kepalanya yang serasa akan pecah. Tak seharusnya seorang lelaki mengeluarkan air mata, namun segala yang telah dilakukan ayahnya benar-benar membuat dia muak. Segera diusapnya air mata yang mulai menggenang di matanya itu sebelum bergulir ke pipi. Dalam kekesalan hatinya itu, dia mengingat lagi pertengkaran dengan ayahnya sore tadi.
          “Joe, Papa ingin kamu menikah tahun ini,”
        “Pa? Papa gila ya? Aku masih ingin fokus pada bisnis, Pa. Lagipula aku tidak memiliki pasangan saat ini,” Protes Joseph segera setelah papanya mengajukan usul yang menurutnya sangat gila itu.
        “Kalau pasangan, Papa sudah mencarikannya untuk kamu. Masih ingat Stephanie? Temanmu ketika di university yang juga anak dari teman baik Papa, David,” Lanjut papanya dengan sangat santai.
         Sontak saja Joseph terkejut. “Pa, mengapa tiba-tiba begini? Aku sedikitpun masih belum berpikir untuk menikah, Pa,” tegasnya pada papanya.
         “Mengapa menolak? Dia cantik, pintar, bisa menjadi istri yang baik untuk kamu. Dan nantinya hubungan kita dengan keluarga David akan semakin akrab,” terang papanya sekali lagi.
       “Pa! Cukup! Dia pasti bisa jadi istri yang baik untuk laki-laki yang memang dicintainya, tapi itu bukan aku Pa. Bila kita menikah, aku hanya akan menjadi robot untuk papa, dan aku juga akan menghancurkan kehidupan Stephanie, Pa,”
        “Tapi Joe, Stephanie tidak berkeberatan dalam perjodohan ini,” Papanya masih tetap bersih keras.
       “Papa bukan tuhan yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Pertama mama, sekarang aku. Apa yang papa harapkan? Aku menikah supaya bisa segera pergi dari keluarga ini, lalu papa bisa menikah dengan wanita jalang itu kan?” balas Joe dengan penuh emosi sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan.
         “JOE!” bentak papanya yang berupaya untuk mencegah Joe pergi dari ruangan. Dan berhasil, bentakan itu menghentikan langkah Joe sejenak.
        “Kalau papa bisa belajar memahami orang sedikit saja, mungkin hingga detik ini mama masih hidup, Pa,” ucapnya datar.
       “Jangan bahas masalah itu! Hal ini tak berhubungan sama sekali dengan mamamu!” kali ini Papa Joe yang mengeluarkan nada emosi.
      “Segala masalah yang ada memang tak saling berhubungan, tapi semuanya disebabkan dengan satu sebab yang sama. Ego papa!” kali ini, Joe kembali beranjak ke pintu keluar.
      “Satu hal lagi. Mama benar pa, Papa brengsek!! Sangat sangat brengsek!!” Sahut Joseph dengan segala emosi yang tersisa, lalu keluar dengan meninggalkan suara bantingan pintu.
*****