Senin, 19 Desember 2011

The Day


         “Kevin, tolong jangan seperti ini. Kamu sudah tiga hari bolos kuliah, dan sedikitpun tak memberi kabar ke kita, smsku kamu acuhkan, telepon gak diangkat. Sampai kapan kamu akan tetap seperti ini? Benar-benar childist. Sedikitpun kamu gak memikirkan hal yang jauh lebih penting di hidup kamu selain wanita,” ucap Aurel pada Kevin, sahabatnya. Pagi ini Aurel datang ke apartement Kevin. Keadaan ruangannya benar-benar kacau, termasuk orangnya. Ketika Aurel datang, Kevin sedang tidur-tiduran di sofa.
        “Vin, sebentar lagi ujian dimulai, dan kamu tetap tak bersemangat karena putus cinta? Sedangkan orang yang kamu harapkan, Ria, sudah pergi jauh dari kamu. Dia sudah memilih untuk meninggalkan kamu. Dia tak lagi peduli ke kamu. Kalaupun dia lihat seperti apa kamu sekarang ini, dia bersyukur karena telah memilih untuk memutuskan hubungan kalian. Childist!” ucap Aurel ketus yang kesal melihat sahabatnya seperti ini hanya karena putus cinta.
       “Rel, jaga mulut kamu! Aku sudah kacau seperti ini, dan kamu datang kesini hanya untuk menghina-hina aku seperti ini? Seperti itu ya gunanya sahabat?” bantah Kevin tegas yang terbawa emosi mendengar nada tinggi ucapan Aurel.
       Plak. Satu tamparan mendarat di pipi Kevin. “Sadar kamu Vin! Aku memang hanya sahabat kamu, tapi kita sudah bersahabat 4 tahun. Ria, hanya sebulan jadian sama kamu dan dia meninggalkan kamu. Terserah kalau kamu akan memilih wanita yang sudah meninggalkan kamu itu. Terserah. Tapi aku kesini bukan untuk pemilihan umum seperti ini,” lalu Aurel tiba-tiba memegang tangan Kevin yang sedang berdiri di depannya, “Kamu bilang aku sudah seperti adik kamu sendiri, jadi, tolong. Dengerin adek kamu yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Abangnya ini. Kamu boleh patah hati, tapi jangan hancurkan hidup kamu. Dia pergi, berarti dia bukan Joedoh kamu. Entah suka atau enggak, kamu pasti akan dapatkan wanita yang lebih baik, yang setia dan sayang sama kamu,”
     Lalu Aurel meletakkan tangan Kevin ke dada Kevin, dia ingin Kevin bisa merasakan ketulusan Aurel, kasih sayang Aurel. Dia ingin Kevin berhenti mengasihani diri sendiri, “Sakitnya, sesaknya mungkin sedang memenuhi dada kamu sekarang. Tapi, Seperih apapun, pasti akan ada obatnya. Kamu harus terima kenyataan,” ucap Aurel menenangkan, sambil memberikan seulas senyum.
     Entah apa yang harus dilakukan Kevin, dia merasa dirinya sangat beruntung memiliki sahabat dan adik seperti Aurel. Dia juga beruntung karena mengenal Aurel yang penyayang dan lembut, tapi selalu saja dia melakukan kesalahan, dan selalu saja dia menyakiti perasaan sahabatnya itu dengan ucapannya.
      Selalu begitu, Aurel lah yang selalu menghangatkan hatinya ketika ada masalah. Padahal Kevin jauh lebih tua daripada dia. Aurel selalu mengerti bagaimana membuatnya menggunakan akal sehat lagi. Kevin berusaha membalas senyum manis sahabatnya itu, hanya itu yang bisa dilakukannya.
      “Thanks ya Rel. Thanks juga sudah mau punya abang kekanak-kanakan kayak aku,” hanya itu yang bisa dikatakan Kevin pada sahabatnya yang sangat pengertian ini. Banyak hal yang Kevin suka dari Aurel, dan salah satunya adalah, Aurel yang suka sekali tersenyum, entah dalam keadaan apapun. Itu terbukti dengan melihat Aurel yang sekali lagi tersenyum mendengar perkataan Kevin.
      “Hahaha, kamu tak pernah bilang maaf ke aku. Apa hanya bisa bilang terima kasih? Ayo, mandi gih. Setelah ini Diana datang, lalu kita jalan-jalan deh,” sahut Aurel dengan riang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar