Senin, 19 Desember 2011

The Night

       Malam bersalju yang sangat dingin di London. Bintang tak menampakkan diri sedikitpun, membuat malam seolah menyapa dingin pada para makhluk yang ada di bumi. Tak banyak orang yang berkeliaran di malam dingin seperti itu, tapi club malam yang berada di pusat kota itu selalu penuh dengan kerumunan orang. Banyak dari mereka yang datang untuk sekedar mengisi waktu luang, atau menghilangkan penat di kepala.
      Seperti yang dilakukan Joseph Lorviz saat ini. Ia mengeratkan jaket hangatnya ke tubuhnya untuk mengurangi rasa dingin dari  malam yang tak bersahabat ini. Perlahan dia menyesap kopinya untuk memberi kehangatan di dalam tubuhnya. Kerongkongannya benar-benar kering, bukan karena kehausan, tapi karena marah. Begitu marah hingga kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. Persoalannya seperti biasa, bertengkar dengan ayahnya yang menurutnya egois itu. Tapi kali ini topik yang diperdebatkan membuat Joseph sangat marah. Bahkan rasanya kopi yang telah diminumnya itu terasa sangat dingin di tenggorokannya.
        “Shit!!” teriaknya sambil membanting cangkir kopi itu ke lantai. Pecah. Seperti kepalanya yang serasa akan pecah. Tak seharusnya seorang lelaki mengeluarkan air mata, namun segala yang telah dilakukan ayahnya benar-benar membuat dia muak. Segera diusapnya air mata yang mulai menggenang di matanya itu sebelum bergulir ke pipi. Dalam kekesalan hatinya itu, dia mengingat lagi pertengkaran dengan ayahnya sore tadi.
          “Joe, Papa ingin kamu menikah tahun ini,”
        “Pa? Papa gila ya? Aku masih ingin fokus pada bisnis, Pa. Lagipula aku tidak memiliki pasangan saat ini,” Protes Joseph segera setelah papanya mengajukan usul yang menurutnya sangat gila itu.
        “Kalau pasangan, Papa sudah mencarikannya untuk kamu. Masih ingat Stephanie? Temanmu ketika di university yang juga anak dari teman baik Papa, David,” Lanjut papanya dengan sangat santai.
         Sontak saja Joseph terkejut. “Pa, mengapa tiba-tiba begini? Aku sedikitpun masih belum berpikir untuk menikah, Pa,” tegasnya pada papanya.
         “Mengapa menolak? Dia cantik, pintar, bisa menjadi istri yang baik untuk kamu. Dan nantinya hubungan kita dengan keluarga David akan semakin akrab,” terang papanya sekali lagi.
       “Pa! Cukup! Dia pasti bisa jadi istri yang baik untuk laki-laki yang memang dicintainya, tapi itu bukan aku Pa. Bila kita menikah, aku hanya akan menjadi robot untuk papa, dan aku juga akan menghancurkan kehidupan Stephanie, Pa,”
        “Tapi Joe, Stephanie tidak berkeberatan dalam perjodohan ini,” Papanya masih tetap bersih keras.
       “Papa bukan tuhan yang bisa menentukan kehidupan seseorang. Pertama mama, sekarang aku. Apa yang papa harapkan? Aku menikah supaya bisa segera pergi dari keluarga ini, lalu papa bisa menikah dengan wanita jalang itu kan?” balas Joe dengan penuh emosi sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan.
         “JOE!” bentak papanya yang berupaya untuk mencegah Joe pergi dari ruangan. Dan berhasil, bentakan itu menghentikan langkah Joe sejenak.
        “Kalau papa bisa belajar memahami orang sedikit saja, mungkin hingga detik ini mama masih hidup, Pa,” ucapnya datar.
       “Jangan bahas masalah itu! Hal ini tak berhubungan sama sekali dengan mamamu!” kali ini Papa Joe yang mengeluarkan nada emosi.
      “Segala masalah yang ada memang tak saling berhubungan, tapi semuanya disebabkan dengan satu sebab yang sama. Ego papa!” kali ini, Joe kembali beranjak ke pintu keluar.
      “Satu hal lagi. Mama benar pa, Papa brengsek!! Sangat sangat brengsek!!” Sahut Joseph dengan segala emosi yang tersisa, lalu keluar dengan meninggalkan suara bantingan pintu.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar